ISBN | 9789791135498 |
Halaman | 188 |
Dimensi (cm) | 14 x 20,5 |
Berat (gram) | 218 |
Harga | Rp 33.000 |
Sampul | Soft Cover |
Hidup bersama dengan nikah tetapi tidak tercatat secara resmi atau lebih populer disebut pada zaman sekarang ini dengan istilah nikah sirri. Meskipun dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengenal dengan istilah nikah sirri, namun fenomena nikah sirri senantiasa menarik untuk dikaji bahkan sudah lama jadi objek penelitian oleh berbagai kalangan di Indonesia. Sesungguhnya secara jujur ada sisi-sisi tertentu yang menarik dan penting untuk diteliti secara akademik seperti yang dibahas dalam buku ini.
Perkara permohonan isbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah setiap tahun senantiasa terus meningkat, seiring dengan diberlakukannya Undang-undang Administrasi Kependudukan dimana salah satu syarat untuk mengurus kelengkapan untuk memperoleh dokumen-dokumen kependudukan mesti ada kutipan akta nikah, bagi yang tidak memilikinya dapat mengajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah.
Melalui buku ini, Penulisnya berupaya dengan sangat baik untuk mengupas persoalan kedudukan hukum nikah sirri baik dikaji dari sudut pandang fiqih atau pun menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, apakah nikah siri itu sah atau tidak? Sebagai aparatur pengadilan perlu membaca, mengkaji dan mendiskusikan buku ini. Demikian juga para penegak hukum lainnya, aparatur pemerintah, akademisi, aktivis perempuan dan masyarakat umum dapat memperoleh manfaat dari buku yang sangat berharga ini.
Dalam bab pendahuluan buku ini menggambarkan dalam literatur kitab fiqih tidak ada perbedaan secara prinsipil antara perkawinan melalui dan yang tidak melalui Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama. Kitab fiqih tidak mengenal istilah nikah sirri atau non sirri, asal memenuhi syarat dan rukun dianggap sah, apakah tercatat oleh pihak Pegawai Pencatat Nikah atau tidak tercatat maka hak dan kewajibannya tetap sama. Sehingga wajar nikah sirri menjadi perdebatan yang aktual karena berbeda dengan nikah resmi pada umumnya, dan eksistensi nikah sirri menjadi perdebatan yang kompleks, dilematis dan juga bersifat problematis baik di kalangan praktisi hukum atau kalangan akademisi.
Dalam bab 3 dikupas secara sederhana tentang pengertian nikah sirri yaitu nikah rahasia, lazim juga disebut dengan nikah di bawah tangan, nikah tidak tercatat melalui PPN atau nikah liar. Sementara terminologi nikah sirri juga sudah dikenal di kalangan para ulama paling tidak sejak masa Imam Malik bin Anas, meskipun pada masa itu berbeda pengertiannya dengan kawin sirri yang dikenal pada masa sekarang ini, dan defenisi atau konsep nikah sirri, dari sejumlah literatur dan berbagai pendapat ternyata konsepnya berbeda-beda sebagaimana yang ditulis dalam buku ini. Dalam bab ini juga dipaparkan faktor yang menjadi penyebab praktek nikah sirri yaitu diduga karena alasan-alasan ekonomi, adanya rasa kuatir terhadap sumber penghasilan dan mahalnya biaya nikah, alasan hukum keengganan berusan dengan proses peradilan agama yang menginginkan poligami, karena tidak mendapatkan izin dari isteri atau isteri-isteri, dan adanya alasan pemahaman nikah terpenting sah menurut agama, serta kondisi tempat pekerjaan yang jauh dari isteri.
Dalam bab 4 diuraikan bahwa fiqih Islam tidak mengenal adanya pencatatan peristiwa perkawinan. Pada dasarnya baik al-Quran ataupun al-Hadis, tidak mengatur secara kontrit tentang adanya pencatatan perkawinan melalui pejabat pencatat perkawinan. Hal mana jauh berbeda dengan ketentuan ayat-ayat yang ada kaitannya dengan masalah mu’amalah (mudayanah) yang dalam situasi dan kondisi tertentu diperintahkan untuk mengadakan administrasi atau membukukannya. Tuntutan perkembangan, dengan berbagai alasan dan pertimbangan kemaslahatan bagi masyarakat, Hukum Islam di Indonesia mengatur pentatatan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Dan dalam bab ini juga dibahas bahwa pernikahan itu sangatlah perlu dilihat dari berbagai macam aspek dan unsur. Paling tidak ada tiga aspek / sisi yang mendasari pernikahan, yaitu agama, hukum dan sosial. Nikah yang disyariatkan dalam Islam mengandung ketiga aspek / sisi tadi. Pernikahan tidak bisa dilihat dari satu aspek / sisi saja. Kalau melihat sari satu sisi saja, ini namanya pincang yaitu sesuatu yang tidak baik
Dalam bab 5 disuguhkan bahwa salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah bidang perkawinan yaitu mengenai isbat nikah bagi orang Islam, pada dasarnya merupakan perkara voluntair, namun dalam beberapa kasus dapat diajukan dalam bentuk contensius karena ada kepentingan hukum lain, seperti kumulasi dengan perkara cerai, harta goni dan kewarisan.
Namun permasalahan sering muncul pasca peraturan tentang perkawinan diundangkan adalah masalah perkawinan yang tidak dicatatkan, apakah nikah tersebut sah secara yuridis formal atau dikategorikan sebagai nikah sirri. Nampaknya para hakim berbeda pendapat tentang pengertian yurisidis formal sahnya suatu perkawinan, di antaranya :
Ada sebagaian hakim berpendapat bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan tidak dikategorikan sebagai nikah sirri sebab sahnya perkawinan cukup dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni terpenuhinya unsur rukun dan syarat yang telah ditentukan oleh agamanya, sementara pencatatan hanyalah tindakan administrasi saja, jika tidak dicatatkan tidak akan mempengaruhi sahnya perkawinan.
Sementara bagi sebagaian hakim yang lain pada umumnya menyatakan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan dikategorikan sebagai nikah sirri, sehingga ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan suatu kesatuan yang tidak dipisahkan dan harus dilaksanakan secara kumulatif, bukan alternatif secara terpisah dan beridiri- sendiri.
Dampak dari persepsi yang beragam dari ketentuan pasal ini, berbeda pula terhadap produk hukum yang dijatuhkan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara isbat nikah. Sementara bagi hakim yang berpendapat bahwa Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2), merupakan pasal yang berdiri sendiri, tidak saling berhubungan, maka perkawinan adalah sah jika telah dilakukan menurut agama dan kepercayaannya, pencatatan bukan suatu hal yang mesti dipenuhi sebab pencatatan itu hanya administratif saja. Perkawinan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai nikah sirri dan dapat diajukan isbat nikahnya.
Sedangkan bagi hakim yang menafsirkan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) itu adalah satu kesatuan yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, maka perkawinan dianggap sah apabila telah dilaksanakan menurut ketentuan agama dan kepercayaannya itu serta dicatat sesuai ketentuan perundang-undangan. Pecatatan harus dipatuhi karena erat kaitannya dengan kemaslahatan pasangan suami isteri dan anak keturunan menurut konsep maqashid syari’ah yang merupakan tujuan hukum disyariatkan. Oleh karenanya perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan nikah sirri karena tidak terpenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan dan nikah dianggap tidak sah secara yurisidis formal dan permohonan isbat nikah tidak dapat dikabulkan, bahkan perkawinan tersebut bisa dimintakan pembatalannya.
Akhirnya saya dapat memberi kesimpulan dalam kaitannya dengan nikah yang tidak tercatat korelasinya dengan isbat nikah / pengesahan nikah bahwa peranan ijtihad putusan hakim dalam menyelesaikan kasus nikah sirri sangat besar eksistensisnya. Sehingga rasa keadilan masyarakat dan kemaslahatan dengan putusan pengadilan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan di satu sisi dan kepastian hukum pada sisi lain. Dalam masyarakat modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan sosial yang begitu luas, merupakan kasus yang membutuhkan solusi hukum yang jika dilihat nikah sirri seolah-olah tidak mendapat tempat dalam undang-undang dan disatu sisi adanya tujuan penetapan hukum oleh hakim agar adanya kepastian hukum bagi pasangan suami isteri yang melakukan praktek nikah sirri. Sejumlah kasus, namun cukup berarti perkawinan yang mendasarkan kepada hukum agama semata, namun tidak mencatatkannya menurut peraturan yang berlaku, sehingga akibatnya tidak tercapainya konsep maqashid as-syariah padahal eksistensi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjamin kepastian hukum perkawinan seseorang.
Kehadiran buku ini semoga menjadi bahan renungan bersama betapa pentingnya peristiwa nikah dicatatkan melalui instansi yang berwenang, dalam bab 6 disimpulkan akikbat perkawinan di bawah tangan / nikah sirri, nikah tidak dicatatkan, maka nikah sirri dapat dikatakan nikah yang tidak mempunyai akibat dan konsekuensi hukum terhadap kejelasan hak dan kewajiban dari pasangan suami isteri, kejelasan tentang hak anak dan kewajiban orang tuanya, dan kejelasan untuk memperoleh administrasi kependudukan dan pencatatan sipil, serta kedudukan harta gono gini dan kewarisan akan membawa implikasi tersendiri dalam hal pembagiannya.
Sekian, semoga resensi buku ini bermamfaat bagi para pembaca dan saya ucapkan selamat kepada Penulis buku ini, semoga bermamfaat adanya.
DAFTAR ISI
Pedoman transliterasi – v
Daftar isi – vii
Kata pengantar – 1
Pasal pertama : Akad Nikah
Definisi nikah – 7
Nikah dari segi Bahasa – 7
Nikah menurut istilah – 8
Legitimasi menikah – 8
Ayat-ayat AL-Qur’an tentang pernikahan – 9
Hadits-hadits Rasulullah n tentang pernikahan – 12
Hokum menikah dan hikmah persyari’atannya – 14
Rukun dan syarat nikah – 23
Konsekuensi dari Akad Nikah --- 30
Pasal kedua : Nikah Sirri dan Asal-Usulnya
Definisi NIkah Sirri – 41
Menurut Ulama salaf – 41
Menurut Ulama Kontemporer – 41
Hokum Merahasiakan kesaksian bagi para saksi dalam Pernikahan Sirri – 46
Pendapat pertama – 46
Pendapat kedua – 47
Tarjih – 48
Bentuk-bentuk Nikah Sirri – 49
Asal-Usul Nikah Sirri – 50
Pasal ketiga : Pendapat Ulama Kontemporer tentang Nikah Sirri
Pendahuluan – 79
Perbedaan pendapat Ulama dan Mahallun Niza’ (obyek perbedaan) mereka – 80
Pendapat dan Dalil-dalil Ulama yang membolehkan – 81
Pendapat dan dalil-dalil yang melarang – 87
Dalil Twaqquf – 98
Menjawab Sikap Tawaqquf – 98
Rangkuman pendapat para ulama di Indonesia – 99
Rangkuman dan pendapat para Ulama Indonesia yang membolehkan – 101
Rangkuman dari pendapat para Ulama Indonesia yang melarang – 110
Tarjihi (pemilihan yang lebih kuat) – 112
Catatan-catatan untuk meneguhi perbedaan tersebut – 114
Teguran keras Allah dan Rasulullah bagi yang mengharamkan sesuatu yang Halal – 114
Saddu Adz-Dzara’i (menangkal kemungkinan jatuh dalam sesuatu yang terlarang) – 119
Bayyinah Rasmiyah diganti surat keterangan – 121
Ibarat Jasad dan roh – 123
Pologami dan Nikah sirri Versus selngkuh dan lokalisasi – 126
Menentang poligami dan Nikah Sirri dan Disamaratakan menyemarakkan Kumpul kebo – 129
Ujung-ujungnya kumpul Kebo – 133
Pelajaran Berharga dari penolakan poligami fathimah d – 138
Pasal keempat : Nikah Sirri dan tujuan pernikahan
Motif melakukan Nikah Sirri – 145
1. Halangan berpoligami – 145
2. Hamil di luar nikah – 146
3. Faktor usia – 147
4. Faktor ekonomi – 147
5. Faktor kejayaan – 148
6. Faktor beda Strata sosial – 149
7. Faktor beda Agama – 149
8. Niat tak terpuji – 150
Dampak negatif Nikah Sirri – 151
Dampak negatif bagi Istri, Suami dan Anak – 152
Terhadap Istri – 152
Terhadap Anak – 153
Terhadap Suami – 155
Dampak begatif secara Hukum – 155
Dampak negatif secara sosial – 156
Urgensi pencatatan Akad Nikah – 156
Manfaat pencatatan Akad Nikah – 158
Hukum pencatatan Akad Nikah – 159
Sejarah pencatatan Akad Nikah – 161
Saat pernikahan di bawah tangan teah terjadi – 1163
Taushiyah – 165
Bagi kaum laki-laki – 165
Bagi kaum wanita – 168
Bagi para wali – 171
Bagi negara dan catatan tentang RUU nika sirri – 171
Daftar pustaka – 177
Internet – 181
Biografi penulis – 183